Belajar di luar negeri masih jadi impian pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Saya sangat bersyukur saya salah satu orang yang beruntung bisa mengenyam kesempatan ini. Namun dari kesempatan berinteraksi dengan teman-teman di Indonesia saat pulang dan juga hasil diskusi dengan beberapa teman di sini, saya jadi berpikir kadang orang negeri kita masih terlalu mendewa-dewakan, overestimating pada pengalaman belajar di luar negeri.
Memang benar banyak sekali keuntungan yang akan kita dapat dengan study abroad ke negara maju. Saya bisa berinteraksi dengan para professor yang top di bidangnya, belajar dan riset di lingkungan yang sangat mendukung, menikmati infrastruktur transportasi, komunikasi yang canggih, life style ala negara maju dan keuntungan keuntungan lain. Dari pengalaman sejarah Indonesia pun, kita tahu tokoh-tokoh seperti B.J. Habibie yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri dan menjadi orang hebat di tanah air. Fasilitas-fasilitas yang kita dapat ketika berada di lembaga riset dan pendidikan negara maju memang mendukung kita untuk menjadi seorang expert di bidang yang kita inginkan.
Tapi hukum alam menyatakan no free lunch. Di balik kemudahan yang kita dapat dari pengalaman di luar negeri, ada “harga” yang harus kita bayar. Tentunya “harga” itu bervariasi antara setiap individu. Tapi yang saya rasakan sendiri, misalnya karena saya sudah abroad sejak S1, saya jadi kehilangan waktu-waktu emas di himpunan mahasiswa (HM). Karena di sini tidak ada HM, kadang saya merasa iri ketika teman-teman yang S1 di Indonesia ketika mereka menceritakan lika-liku di HM mereka di Indonesia. HM sangat penting untuk mengasah softskill mahasiswa. Selain itu, karena saya sudah lumayan lama (5.5 tahun) di luar negeri, waktu saya pulang kemarin saya merasa saya sudah mulai kehilangan sense penting seperti sense untuk menyeberang jalan sembarangan, menawar harga di pasar, sense berinteraksi dengan pedagang-pedagang kaki lima dan sense–sense lain yang sangat diperlukan untuk bisa survive di negara kita yang masihganas dan penuh sikut menyikut. Tidak heran ketika mendengar kisah peneliti yang sudah sukses di negeri rantau tapi begitu kembali ke instansi mereka di Indonesia, mereka kalah oleh arus di Indonesia dan –mohon maaf-menjadi “biasa-biasa saja” sekalipun di negeri rantau mereka mereka pernah jadi orang top.
Untuk memberikan ilustrasi tentang perlunya pertimbangan yang masak ketika memutuskan untuk study abroad, saya ingin cerita tentang seorang sahabat saya. Dia dari dulu selalu saya kagumi intelegensi dan integritasnya. Dia termasuk orang terpintar, dari segi IP, di angkatannya di ITB. Selepas di lulus dari kampus, dia mencoba apply beberapa program beasiswa ke luar negeri. Entah kenapa, takdir Allah berkata lain, interview yang dia ikuti tidak memberi hasil sesuai yang dia inginkan. Di saat yang sama dia juga mengembangkan usaha dari nol. Tidak perlu saya sebut jenis usahanya karena nantinya akan menunjuk ke orang yang bersangkutan. Belakangan saya chatting dengan dia, dia bercerita bahwa usahanya sudah mulai berkembang, dengan bekal kegigihan dan engineering-sense yang memang aku akui sejak dulu dia mulai membangun pabrik sendiri, menyewa karyawan, dan omzetnya sudah menginjak angka puluhan juta per bulan. Kalau dulu dia lulus dan berangkat ke luar negeri, mungkin takdir berkata lain. Saya sangat berharap jalan hidupnya yang sekarang sebagai seorang pengusaha di tanah air memang yang terbaik bagi dia, keluarganya, dan Indonesia.
Maksud posting kali ini bukan untuk menggurui dan menciutkan semangat teman-teman yang ingin study abroad. Justru saya ingin menyemangati agar teman-teman bisa melanjutkan studi ke luar negeri tapi tentunya dengan perencanaan yang cukup matang. Mari kita pikirkan lagi untung ruginya, dan juga career options setelah lulus nanti, apakah mau pulang lagi atau masih mau stay di luar negeri dalam jangka waktu yang lama. Kalau setelah dipikir-pikir ternyata lebih prospektif untuk berada di tanah air, mengapa harus ke luar negeri?
*kalau ada saran/kritik silakan 🙂
Bener kak, kadang emang suka ngiri juga kalo ngeliat temen yang kayaknya menikmati banget di Indonesia nya, dan akhirnya bisa sukses karena usahanya…
Tapi semuanya kembali lagi ke takdir, hehehe… Maksudny apa, emang kayakny udah takdir ada yang keluar negeri (maksudnya gak sengaja eh dapet beasiswa keluar negeri), ada yang di dalem negeri, tapi ujung2nya, kalo kita bisa menikmati kita berada di mana aja, dan bisa sungguh-sungguh sama apa yang kita lakuin, mau ada dimanapun kita berada pasti kita bakal sukses dan bahagia,,.
Baca bacaan ini jadi keikut semangat gak mau kalah sama orang2 yang ada di Indonesia…
Hisashiburi kohai!.. Makasih dah mau mampir.
Alhamdulillah kalau jadi makin semangat. Bagi kita yang sudah “terlanjur basah” di luar negeri, tugas kita sekarang menikmati suka duka di sini. Yang penting jangan masuk ke comfort zone, or dlm bhs jpn ぬるま湯.
setiap orang punya pilihannya Bah, entah itu memilih untuk beranjak dari negeri sendiri atau tetap berada di kampung halaman. Luar negeri menawarkan kesempatan untuk belajar lebih, dukungan fasilitas, dan bahkan mungkin penghidupan yang lebih baik. Namun, jangan lupa ada negeri sendiri dimana kita dilahirkan, tumbuh besar dan berkembang yang juga perlu untuk dibantu.
kadang saya miris melihat orang-orang pintar yg seakan enggan untuk pulang ke Indonesia, kebanyakan memang dengan alasan ekonomi. gaji yang tidak sebanding dengan apa yang mereka miliki di balik tempurung kepalanya. memang, saya sendiri tidak bisa menyangkal itu. tapi bukankah rezeki itu sudah ada yg mengatur.
impian saya, saya pengin banget temen-temen yg sudah punya kesempatan belajar di luar sana, suatu hari pulang ke Indonesia, membangun bangsa ini bersama. ya, at least itu sebagai bentuk syukur karena sudah diberi ilmu yang lebih dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan di Indonesia. 🙂
Saya punya pengalaman persis spt Bahar. Dulu ada kawan saya yang mau saya ajak ke luar negeri karena saya yakin dia pasti lolos ujian dengan pengalamannya sbg salah satu Tim Olimpiade internasional. Dia ngotot tetap di Indonesia. Akhirnya dia lulus dengan IPK sempurna dan sekarang menjadi pimpinan di perusahaan yang ia dirikan bersama kawan-kawannya. Mungkin memang perlu kita mengecek cara berpikir kita lagi tentang segala sesuatu termasuk masa depan kita.
Makasih mas Huda, dah mampir ke blog sy yg agak bulukan ini.
Bener mas, ngga hanya ketika memutuskan ke luar negeri. Apapun jalan hidup kita harus kita pikirkan masak2 🙂